Laman

Rabu, 24 November 2010

Bulan di Atas Kota Kecilku yang Ditinggalkan Zaman






Judul Buku       : Dwilogi Padang Bulan.
Pengarang        : Andrea Hirata.
Penerbit            : Bentang Pustaka.
Tahun Terbit     : 2010.
Tebal Buku       : xii + 254 Halaman.; 20,5cm.
Harga Buku      : Rp 76.500,-.
Kategori Buku : Romance (Fiksi).
Teks Bahasa     : Indonesia.
     

 “ Berikan aku sesuatu yang paling sulit, aku akan belajar”
        Inilah kata yang dapat menggambarkan kesan setelah membaca karya novelis master piece Indonesia, siapa lagi kalau bukan Andrea Hirata. Setelah satu setengah tahun sejak Maryamah Karpov terbit, akhirnya Andrea meluncurkan novel dwiloginya ini pada hari Jum’at 25 Juni 2010. Dwilogi ini (Padang Bulan dan Cinta di Dalam Gelas) meneguhkan Andrea Hirata sebagai cultural novelist sekaligus periset sosial budaya. Watak manusia yang penuh kejutan, sifat-sifat unik sebuah komunitas, parody, dan cinta di tulis dengan cara membuka pintu-pintu baru bagi pembaca untuk melihat budaya, melihat diri sendiri, dan memahami cinta, hubungan kluarga, dan religi dengan cara yang tak biasa. Keindahan kisah, kedalaman intelektualitas, humor dan hysteria kadang-kadang, serta kehati-hatian sekaligus kesembronoan yang di sengaja telah menjadi ciri gayanya yang khas. Ide tulisan dengan hasrat bereksperimen yang kuat serta kemampuan menyeimbangkan mutu dan penerimaan yang luas dari masyarakat  adalah daya tarik sekaligus misteri terbesar andrea hirata.
      Tidak jauh berbeda dengan 4 novelnya yang terdahulu, novel padang Bulan Karya Andrea Hirata ini masih mengusung tema pergulatan seseorang yang tidak kenal menyerah dalam mengatasi kesulitan hidup. Dia yang sudah miskin secara struktural menjadi lebih terhimpit lagi ketika nasib tidak berpihak kepada dirinya. Ketika sandaran hidup mereka justru menginggalkan mereka maka dialah yang harus berjuang untuk melepaskan atau menahan himpitan kemiskinan tersebut. Tokoh  Enong dalam novel tersebut adalah tokoh wanita yang sebelumnya tak pernah diceritakan di ke-4 novelnya. Dia wanita cerdas yang terobsesi dengan Bahasa Inggris yang terpaksa didrop out sewaktu kelas 6 SD karena ditinggal ayahnya ke alam baka. Sedangkan ibunya hanya ibu rumah tangga biasa dengan banyak anak. Maka dari itu, Enong di usianya yang baru seumuran jagung menjelma menjadi tulang punggung keluarga besar sederhananya. Cerita kemudian diselang-selingi dengan kisah Ikal pada waktu kecil hingga dewasa, dimulai pada saat ia memberikan hadiah ulang tahun di setiap hari ulang tahun A Ling. Hingga pada saat ia dipukul telak oleh Zinar, laki-laki yang berhasil merebut A Ling dari Ikal. Disinilah kita akan membaca dan membayangkan Ikal cemburu untuk pertama kalinya. Novel ini memiliki nuansa Melayu yang lebih kental dibanding 4 novel pendahulunya. Kesan yang mendalam dan mengaduk-aduk emosi akan kita temukan di awal,  Mosaik 1 yang berjudul Lelaki Penyayang. Dari sebuah narasi menggelikan yang membuat kita terkekeh (terutama jika kita pernah menaksir lawan jenis di usia remaja) berakhir dengan tragedi menyedihkan yang mebuat mata kita berkaca-kaca. Kejutan yang seharusnya menjadi saat paling membahagiakan bagi sebuah keluarga sederhana justru berubah menjadi kejutan akibat malapetaka.
      Novel ini penuh dengan kejutan dan intrik-intrik yang menegangkan. Dengan membaca novel ini pembaca akan merasakan seperti ketularan pintar dan ajaib. Kita serasa diajak berkelana ke tempat Ikaldan kawan-kawannya berada, merasakan emosi setiap tokohnya. Dari segi perwajahan, covernya sangat menarik, sederhana tanpa banyak tulisan-tulisan yang tidak perlu, namun tetap menimbulkan tanda tanya. Selain itu novel ini juga memberikan sensasi yang baru karena menggabungkan dua novel sekaligus dan merupakan hal yang baru di Indonesia. Novel ini adalah novel kultural  yang hendak memotret kehidupan orang Melayu (Belitong). Ia juga menyajikan sosiologi egolatrik puak melayu yang di refleksikan melalui kebiasaan mereka bermain catur. Selain hal di atas setting sosial yang di gambarkan secara jelas dan pengemasan cerita yang apik menjadikan novel ini ringan, tetapi tidak ampang. Novel di pecah dengan kepingan-kepingan mozaik yang pernah di katakan Pak Belia (Sang Pemimpi). Dilihat dari segi bahasanya, novel ini memiliki nuansa  melayu yang sangat kental.
      Seperti pepatah lama “ tak ada gading yang tak retak” di balik berjuta kunggulan yang di miliki, novel dwilogi ini juga memiliki beberapa kekurangan seperti penjudulan akan membuat pembacanya bingung ‘Padang Bulan’ yang benang merahnya sulit di temukan dalam isi cerita. Kisah Enong saja sebenarnya sudah sangat layak dijadikan tema sentral Padang Bulan. Sementara kisah cinta Ikal dangan A Ling justru menjadikan novel ini terasa agak bertele-tele dan membingungkan, sehingga sering membawa pembacanya tersesat di kisah percintaan Ikal dan A ling. Selain itu bagi mereka yang belum pernah membaca Tetralogi Laskar Pelangi, beberapa bab/mosaik akan terasa membingungkan karena novel ini memakai alur balik. Beberapa bab/mosaik itu menceritakan saat-saat Ikal masih bersekolah di Sekolah Dasar. Di dalam mozaik-mozaiknya juga terlalu banyak di jejali cerita dan tokoh di luar protagonis utama sehingga tidak jarang membuat pembaca harus memindai agar dapat mengerti jalan cerita dengan jelas.
      Sensasi novel indah seperti di surga, eksotismenya benderang seperti cahaya matahari menembus awan gemawan dan menunjukan cahaya Tuhannya. Siapapun yang menbaca buku ini akan ketularan menjadi cerdas dan sangat bijak. Dwilogi ini memberikan pelajaran tentang hidup dan cara menyikapinya, lewat enong ia memberikan pelajaran berharga bahwa belajar adalah sikap berani menantang segala ketidakmungkinan. Ilmu yang tidak di kuasai akan menjelma di dalam diri manusia menjadi sebuah ketakutan. Belajar yang keras hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang bukan penakut. Inilah yang menjadikan dwilogi ini sangat pantas di baca dan dinikmati oleh seluruh kalangan masyarakat Indonesia. Dan hal yang saya petik adalah “semakin aku tahu, semakin aku sadar bahwa sesungguhnya aku tidak tahu apa-apa.”



                                                                                                                    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar